37 Desa Ditenggelamkan Demi Waduk Kedungombo

Pembangunan Waduk Kedungombo di Jawa Tengah (Jateng) mengorbankan kawasan di 37 desa yang berada di tujuh kecamatan pada tiga kabupaten.

37 Desa Ditenggelamkan Demi Waduk Kedungombo Waduk Kedungombo (Instagram/@kedung.ombo)

Semarangpos.com, PURWODADI – Pembangunan Waduk Kedungombo yang membentang di tiga kabupaten wilayah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) memiliki sejarah yang panjang. Sebanyak 37 desa di 7 kecamatan yang berlokasi di tiga kabupaten ditenggelamkan demi proyek yang menelan dana hingga Rp560 miliar tersebut.

Bendungan utama Waduk Kedungombo berada di Kecamatan Geyer, Grobogan. Waduk ini juga menempati wilayah Kabupaten Sragen serta Boyolali.

Sumber air utama waduk tersebut berasal dari Kali Serang. Sumber air lainnya dipasok dari beberapa anak sungai besar maupun kecil lainnnya yang menyuplai air ke Waduk Kedungombo antara lain Sungai Braholo, Sungai Tengah, Sungai Nglanji, Sungai Tapen, dan Sungai Sambas.

Baca jugaSejarah Kelam Waduk Kedungombo hingga Jadi Destinasi Wisata

Waduk ini dibangun pada 1985 untuk pembangkit listrik tenaga air berkekuatan 22,5 mega watt. Selain untuk PLTA, air dari waduk tersebut dipakai untuk mengairi 70 hektare sawah di sekitarnya.

Waduk Kedungombo dibangun selama empat tahun mulai 1985-1989 yang menelan dana hingga USD25,2 juta dari Bank Exim Jepang dan APBN, yang totalnya mencapai Rp560 miliar.

Dikutip dari Wikipedia, Senin (17/5/2021), pengairan waduk dimulai pada 14 Januari 1989. Waduk ini dibangun dengan menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di tiga kabupaten. Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk raksasa ini.

Sampai diresmikan pada 19 Mei 1991 oleh Presiden Soeharto, pembangunan Waduk Kedungombo menuai protes. Sebanyak 600 keluarga berjuang menuntut hak atas ganti rugi tanah yang layak.

Pada 2001, kasus penuntutan ganti rugi tanah atas pembangunan Waduk Kedungombo yang belakangan berkembang menjadi tempat wisata kembali mencuat. Warga menuntut Gubernur Jawa Tengah membuka kembali kasus tersebut. Namun, Pemprov dan Pemkab setempat bersikeras menyatakan bahwa ganti rugi tanah sudah selesai.

Kala itu Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250/m². Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.

Dicap PKI

Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air.

Bukan hanya kehilangan tanah, 36 tahun yang lalu penggusuran besar-besaran menyisakan duka bagi warga Kedungombo. Masalah ganti rugi atas kepemilikan tanah warga untuk waduk seperti tak berujung. Mereka menuntut ganti rugi yang sesuai, namun kenyataannya tidak pernah digubris.

Baca jugaPolisi Tetapkan 2 Tersangka Tragedi Perahu Terbalik di Waduk Kedungombo, Salah Satunya Pengemudi Perahu Berusia 13 Tahun

Walaupun ada sejumlah laporan yang menyebut uang ganti rugi dari Bank Dunia itu telah diselewengkan. Sayangnya, mereka yang menggugat pemerintah justru bernasib buruk. Mereka dicap sebagai PKI.

Petani yang enggan menyerahkan tanahnya untuk pembangunan Waduk Kedungombo dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET pada KTP mereka. kode tersebut membuat mereka mengalami kesulitan karena mendapat perlakuan diskriminatif.

Sejumlah literatur mencatat hampir semua musuh Orde Baru selalu dicap sebagai PKI. Orang-orang dengan cap PKI ini tak selamanya berkaitan dengan PKI. Namun termasuk masyarakat yang menentang program pemerintah, termasuk warga Kedungombo. Cap itulah yang membuat kehidupan mereka menjadi sulit karena mendapat diskrriminasi.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Get the amazing news right in your inbox

Berita Terpopuler

0 Komentar

Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

Komentar Ditutup.