Bagi-Bagi Kupat Jembut di Tradisi Syawalan Khas Semarang

Kupat Jembut merupakan makanan ketupat yang bagi-bagikan saat acara syawalan dan sudah menjadi tradisi di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).

Bagi-Bagi Kupat Jembut di Tradisi Syawalan Khas Semarang Ilustrasi kupat jembut. (Dok. Semarangpos.com-Imam Yuda S.)

Semarangpos.com, SEMARANG — Dalam Bahasa Jawa, kata jembut mungkin memiliki kesan vulgar, namun jembut di sini rupaya adalah jenis makanan. Kupat jembut adalah sebuah makanan khas Semarang yang hanya muncul saat Idul Fitri.

Kupat jembut ini hadir untuk memeriahkan syawalan. Biasanya diawali dengan pesta petasan sejak selepas Salat Subuh, kemudian anak-anak dari Kampung Jaten Cilik langsung keluar rumah dan berebut ketupat yang berisi sayuran.

Dikutip dari Solopos.com melansir Liputan6.com, Sabtu (15/5/2021), kupat jembut berbeda pada kupat lebaran pada umumnya. Ketupat ini memiliki rasa yang kuat karena sudah diberi bumbu saat pengolahan. Selain itu dinamai kupat jembut karena isiannya yang berupa tauge sampai keluar dari bungkus ketupat.

Baca jugaMeski Namanya Terdengar Jorok, Ketupat Ini Tetap Jadi Buruan di Semarang

Melansir dari Detik.com, salah satu tokoh masyarakat kampung Jaten Cilik, menceritakan bahwa tradisi bagi ketupat ini sudah ada sejak tahun 1950an, setelah warga asli Jaten Cilik kembali ke kampungnya pasca mengungsi akibat perang dunia kedua.

Pria bernama Munawir itu menceritakan bahwa kala itu warga hidup dalam kesederhanaan. Namun karena tetap ingin mengungkapkan rasa syukur setelah melewati bulan Ramadhan, maka digelar syukuran sepekan setelah Idul Fitri atau syawalan dengan membagikan kupat tauge tanpa opor.

Isian ketupat itu hanya ada tauge, kelapa dan Lombok. Karena itu, ketupat ini dianggap sebagai simbol kesederhanaan. Tradisi itu memang dilakukan orang dewasa dan diperuntukan untuk anak-anak sebagai simbol untuk meneruskan tradisi ke generasi yang lebih muda. Selain mendapatkan Kupat Jembut, anak-anak ini juga menerima uang fitrah sejumlah mulai dari Rp80.000 hingga Rp100.000.

Terdengar Vulgar

Terkait penamaan makanan, Munawir juga menjelaskan bahwa ada banyak versi dari makanan ketupat dengan isian tauge ini. Karena kampung Jaten Cilik lebih religius, sehingga sebutan kupat tauge lebih digunakan daripada kupat jembut yang terdengar vulgar.

Rupaya tradisi kupat tauge ini tidak hanya dilakukan oleh Kampung Jaten Cilik saja, namun masyarakat di sejumlah titik di Kelurahan Pedurungan Tengah juga menggelar hal serupa termasuk di daerah Sendangguwo, sisi timur kota Semarang.

Berdasarkan cerita versi maasyarakat di Kampung Padurungan ini, tradisi kupat jembut atau kupat tauge bermula dari tradisi nenek moyang yang selalu membuat ketupat isi tauge saat ada anaknya yang meninggal saat Idul Fitri.

Baca juga: Kisah Waria di Semarang yang Ajari Ngaji saat Ramadan

Memasuki masa Pandemi Covid-19, tentunya tradisi ini juga ikut terdampak. Namun tradisi ini tetap berjalan saat Lebaran pertama di masa Pandemi pada 2020 silam. Hanya penyelenggaraannya saat itu dilakukan berbeda.

Kalau biasanya tradisi kupat jembut ini dilakukan dengan saling berebut oleh anak-anak, untuk penerapannya saat itu ketupat dibagikan dan anak-anak yang datang juga menggunakan masker dan mereka tetap diizinkan untuk menyalakan petasan dan kembang api.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Get the amazing news right in your inbox

Berita Terpopuler

0 Komentar

Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

Komentar Ditutup.