Konon Santri Tidak Mau Salat Bakal Jadi Monyet di Masjid Ini

Kisah misteri nan unik menyelimuti keberadaan Masjid Saka Tunggal di Banyumas, di mana santri yang tidak mau salat bisa berubah jadi monyet.

Konon Santri Tidak Mau Salat Bakal Jadi Monyet di Masjid Ini Para monyet yang hidup di sekitar Masjid Baitussalam atau Saka Tunggal di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Kamis (15/4/2021). [Suara.com/Anang Firmansyah]

Semarangpos.com, PURWOKERTO – Pagi menjelang siang, suasana sepi dan hening menyelimuti kawasan Masjid Baitussalam atau yang populer disebut Masjid Saka Tunggal di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas.

Wajar saja, lokasinya yang berada di celah bukit membuat masjid tersebut terkesan jauh dari keramaian.

Meski demikian, pada masa liburan masjid yang letaknya sekitar 4 kilometer (km) dari jalan raya itu menjadi ramai oleh pengunjung. Hal itu karena keunikan masjid yang bersaka tunggal. Selain itu, lokasinya yang asri membuat hewan liar seperti monyet ekon panjang banyak ditemui di wilayah ini.

Baca juga: Jejak Para Wali di Masjid Sekayu Semarang, Lebih Tua dari Masjid Agung Demak?

Monyet ini dipercaya sudah ada sejak awal mula didirikannya Masjid Saka Tunggal di Banyumas. Tidak ada yang tahu persis kapan berdirinya masjid ini. Namun, menurut Juru Kunci Masjid Saka Tunggal, Sulam, 50, masjid ini sudah berdiri sebelum berdirinya Kerajaan Demak.

“Tidak ada yang tahu persis kapan didirikan, tapi yang jelas sebelum adanya Kerajaan Demak. Pendirinya adalah mbah Mustolih, dahulu dia adalah tokoh penyebar agama Islam di daerah sini,” kata Sulam, dikutip dari suara.com, Kamis (15/4/2021).

Meskipun tidak diketahui kapan berdirinya, di salah satu sisi tiang saka tunggal yang berukuran 40 x 40 sentimeter dengan tinggi sekitar 5 meter, tertulis angka 1288 dengan menggunakan bahasa Arab. Diduga angka itu merupakan tahun berdirinya Masjid Saka Tunggal dalam kalender Hijriyah. Jika diartikan dalam kalender Masehi artinya angka tersebut menjadi 1522.

“Sakanya memang ada banyak, tapi itu hanya penopang. Kalau saka guru hanya satu. Saka itu tidak pernah diganti dari awal berdiri. Jenis kayunya tidak ada yang tahu. Tapi yang jelas masih kokoh sampai sekarang,” terangnya.

Mayoritas penduduk Desa Cikakak juga merupakan pengikut Islam Aboge. Mereka mempunyai penentuan tanggal menggunakan penanggalan Jawa, Alif Rebo Wage atau Islam Aboge.

“Mayoritas ya hampir 90 persen pengikut Aboge. Ribuan jumlahnya, saya tidak tahu persis. Nah karena perhitungan itu makanya kami baru mengawali puasa pada hari Rabu [15/4/2021] kemarin. Beda dengan penetapan pemerintah. Tapi itu tidak jadi soal,” jelasnya.

Santri Buat Gaduh

Terdapat cerita tersendiri yang melegenda mengenai monyet-monyet yang ada di kompleks Masjid Saka Tunggal. Konon gerombolan monyet itu merupakan perwujudan santri-santri yang dikutuk menjadi kera karena tidak mau salat.

Bahkan disebutkan, para santri itu justru membuat kegaduhan saat orang-orang tengah melaksanakan salat hingga berakhir menjadi monyet.

Baca juga: Kisah Waria di Semarang yang Ajari Ngaji saat Ramadan

“Legendanya monyet ini merupakan santri yang malas. Jadi untuk pembelajaran anak-anak, saat ini agar taat mengaji. Diwujudkanlah santri-santri yang bandel dikutuk jadi monyet ini. Intinya kalau tidak rajin, berubah jadi monyet, harus senang mengaji terus, senang ke masjid,” ungkapnya.

Meski begitu, warga masyarakat setempat sudah tidak mempercayai cerita tersebut. Hanya saja, cerita ini digunakan sebagai metode pembelajaran orangtua sekitar kepada anaknya agar rajin mengaji.

Saat ini keberadaan monyet diperkirakan mencapai 100 ekor di sekitar Masjid Saka Tunggal. Namun karena adanya kelompok-kelompok baru, monyet ini kemudian keluar ke desa sebelah dan jumlahnya total mencapai 500 ekor di hutan-hutan.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

 

Get the amazing news right in your inbox

Berita Terpopuler

0 Komentar

Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

Komentar Ditutup.