Begini Kaitan Pecinan Semarang, Sunan Kuning & Pemberontakan Etnis Tionghoa…

Storyteller asal Kota Semarang, Jongkie Tio, menyebut terbentuknya kawasan Pecinan di Semarang tak bisa dilepaskan dari peristiwa Geger Pacinan pada 1740.

Begini Kaitan Pecinan Semarang, Sunan Kuning & Pemberontakan Etnis Tionghoa… Ilustrasi seni pertunjukan wayang potehi. (Antara-Aji Styawan)

Semarangpos.com, SEMARANG – Tahun Baru Imlek sesuai tradisi China yang kerap disebut sinchia segera tiba. Di saat seperti ini, kawasan Pecinan Kota Semarang selalu saja menjadi pusat keramaian.

Beberapa agenda seperti Pasar Semawis, Tuk Panjang, hingga Opera Jalanan kerap digelar di kawasan tersebut menjelang Tahun Baru Imlek. Tak terkecuali tahun ini, menjelang Tahun Baru 2571 Imlek yang jatuh pada Sabtu (25/1/2020).

Perayaan Imlek di kawasan pecinan memang selalu meriah. Maklum, mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan tersebut merupakan orang-orang keturunan Tionghoa.

Di kawasan ini tercatat ada sembilan bangunan kelenteng yang digunakan warga keturunan Tionghoa beribadah. Kesembilan kelenteng itu adalah Siu Hok Bio di Jl. Wotgandul Timur No.38, Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa di Jl. Gang Pinggir No.105-107, Tay Kak Sie di Jl. Gang Lombok No. 62, dan Kong Tik Soe di Jl. Gang Lombok. Kemudian Kelenteng Hoo Hok Bio di Jl. Gang Cilik No.7, Tong Pek Bio di Jl. Gang Pinggir No.70, Kelenteng Wie Hwie Kiong di Jl. Sebandaran I No.26, Ling Hok Bio di Jl. Gang Pinggir No.110, dan Kelenteng See Hoo Kiong/Ma Tjouw Kiong di Jl. Sebandaran I No.32.

Storyteller asal Kota Semarang, Jongkie Tio, menyebut terbentuknya kawasan Pecinan di Semarang tak bisa dilepaskan dari peristiwa Geger Pacinan pada 1740 silam. Saat itu, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau yang karib disebut Kompeni melakukan pembantaian terhadap warga Tionghoa di Batavia, sekarang Jakarta. Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos lantas melarikan diri hingga ke Semarang.

Jongkie Tio
Sejarawan Semarang, Jongkie Tio. (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)

Di Semarang, orang Tionghoa sempat bergabung dengan Raja Kasunanan Kartasura, Pakubuwono II, untuk menentang VOC. Namun, setelah Pakubowono II kalah dan tunduk dari VOC, warga Tionghoa bersama kaum pribumi kemudian mengangkat cucu Amangkurat III, Raden Mas Garendi sebagai raja.

Raden Mas Garendi yang juga dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, karena memimpin kaum berkulit kuning, akhirnya memimpin pemberontakan ke Kartasura pada 1742. Akibat pemberontakan itu, Kasunanan Kartasura pun jatuh.

“Setelah runtuhnya Kasunanan Kartasura itu, akhirnya terbentuk Kasunanan Surakarta dan kemudian Keraton Yogyakarta,” tutur Jongkie saat dijumpai Semarangpos.com, beberapa waktu lalu.

Pasca-pemberontakan itu, Jongkie mengatakan Belanda akhirnya mengeluarkan peraturan yang isinya menempatkan warga Tionghoa di Semarang dalam satu kawasan. Tujuannya, tak lain agar pergerakan atau aktivitas warga Tionghoa bisa lebih diawasi.

Warga mengunjungi lokasi perayaan Pasar Imlek Semawis di kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jateng, Selasa (24/1/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Aditya Pradana Putra)
Ilustrasi perayaan Imlek di kawasan Pecinan Semarang. (JIBI/Solopos/Antara/Aditya Pradana Putra)

“Setelah pemberontakan itu, Belanda akhirnya menempatkan warga Tionghoa dalam satu kawasan. Kawasan itulah yang sekarang disebut Pecinan. Sebelum ada Pecinan, warga Tionghoa tinggalnya terpisah-pisah, ada yang di Gedung Batu, bahkan di wilayah Ngaliyan,” cerita pria yang memiliki nama asli Tio Tik Gwan itu.

Jongkie menambahkan meski terbilang sempit, kawasan Pecinan di Kota Semarang mampu menjadi salah satu wilayah kekuatan ekonomi. Bahkan, beberapa tokoh lahir dari kawasan itu, salah satunya Oei Tjie Sien, yang merupakan ayah Oei Tiong Ham, yang pernah menyandang predikat sebagai orang terkaya di Asia Tenggara pada akhir abad ke-19.

Sementara itu, dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, kawasan Pecinan di Semarang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan Kota Semarang. Kawasan pecinan di Semarang disebut-sebut memiliki nilai sejarah dan merupakan kawasan yang memiliki potensi wisata budaya.

Pada 2005, Pemkot Semarang melalui Surat Keputusan Wali Kota No.650/157 tanggal 28 Juni 2005, mulai mengatur kawasan Pecinan untuk direvitalisasi. Pecinan Kota Semarang yang semula hanya pusat perdagangan berubah menjadi pusat wisata yang menampilkan kebudayaan orang-orang etnis Tionghoa.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Get the amazing news right in your inbox

Berita Terpopuler

0 Komentar

Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

Tinggalkan Komentar

Anda harus logged in untuk kirim komentar.