Hidup di Kandang Sapi, Warga Salatiga Luput dari Bantuan Covid-19

Potret kemiskinan di Salatiga, satu keluarga tinggal di bekas kandang sapi dan tak mendapat bantuan pada masa pandemi Covid-19.

Hidup di Kandang Sapi, Warga Salatiga Luput dari Bantuan Covid-19 Sugiman dan keluarganya berpose di depan rumah, yang merupakan bekas kandang sapi di Salatiga. (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)

Semarangpos.com, SALATIGA — Gubuk semipermanen berukuran 6×3 meter itu tampak reot. Meski demikian, gubuk bekas kandang sapi itu masih bisa diandalkan Sugiman, 57, dan keluarganya sebagai tempat berlindung.

Sugiman bersama istrinya, Ika, 32, dan tiga orang anaknya memang menjadikan gubuk bekas kandang sapi itu sebagai tempat berlindung.

Sudah 6 tahun lebih, Sugiman tinggal di gubuk yang terletak di tengah perkebunan kayu sengon di RT 001/RW 005, Gedongan, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga itu.

Sugiman mengatakan gubuk itu merupakan bekas kandang sapi. Ia bersama keluarganya diizinkan tinggal di situ oleh pemilik lahan, Sukirman.

“Saya juga ditugasi menjaga kebun milik pak Sukirman. Di sini sudah enam tahun,” ujar pria yang akrab disapa Giman itu saat disambangi Semarangpos.com, Selasa (8/6/2020).

Sebelum tinggal di gubuk itu, Giman tinggal di RT 008/RW 003 Gedongan. Namun karena ada masalah keluarga, rumahnya dijual hingga dia pindah ke daerah Noborejo.

Tak lama kemudian, ia kembali ke Gedongan dan menempati bekas kandang sapi yang berada di lahan milik Sukirman.

Sugiman dan istrinya menceritakan suka duka tinggal di gubuk bekas kandang sapi di Salatiga. (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)

Saat pertama menempati, kata Sugiman, tempat tinggalnya tak memiliki dinding. Perlahan, dia meminta material kepada beberapa tetangga dan mengais di tempat pembuangan.

Saat ini, tempat tinggalnya sudah ada tembok setinggi 50 sentimeter dan dindingnya dari anyaman bambu. Tempat tinggalnya yang berukuran 3×6 meter terbagi atas dua sekat, satu untuk dapur dan amben, dan ruang dalam untuk tidur lima orang.

“Awalnya di sini enggak ada penerangan. Kami lalu memasang listrik. Tapi dicabut, hingga permanen saat ini. Setelah ada bantuan dari pak Sukirman,” ujar Giman.

Giman mengaku awal tinggal di gubuk tersebut, ular sering masuk ke dalam rumah. Namun, lama kelamaan ular tak lagi masuk ke rumah.

Buruh serabutan

Sugiman mengaku tak memiliki pekerjaan tetap. Ia hanya buruh serabutan. Sementara, istrinya kerap menjadi pembantu rumah tangga dengan upah Rp300.000 per bulan.

“Yang paling susah disini itu air karena harus mengambil dengan jalan kaki sekitar 300 meter. Itu sebenarnya tandon warga Nanggulan untuk menyirami tanaman, tapi kami ambil buat keperluan sehari-hari,” terang Sugiman.

Ironisnya, meski tak memiliki penghasilan tetap dan tinggal di bekas kandang sapi, Sugiman tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Terlebih pada masa pandemi Covid-19, ia belum pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah.

“Padahal, sekarang penghasilan menurun. Jarang sekali dapat order sejak pandemi corona,” jelasnya.

Dia mengaku pernah menanyakan kepada perangkat desa kenapa tak dapat bantuan dari pemerintah. Namun, dalihnya ia tak memiliki KK yang sama dengan tempat tinggalnya.

“Jadi enggak dapat. Termasuk bantuan untuk warga yang terdampak corona, saya juga enggak dapat,” aku Sugiman.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Get the amazing news right in your inbox

Berita Terpopuler

0 Komentar

Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

Tinggalkan Komentar

Anda harus logged in untuk kirim komentar.